Blogger Mesti Punya Otot Berbagi
Saat aku memutuskan menjadi blogger, ya mudah, namun menjalaninya bukan perkara mudah, tapi bukan berarti gak bisa.
Ada kepuasan tersendiri saat aku menulis yang bermanfaat bagi pembaca. Disitulah letak kepuasaan seorang blogger.
Berbagi. Ya, prinsip dasar seorang blogger adalah berbagi. Berbagi pengalaman, cerita, inspirasi, hingga pemikiran yang memberdayakan sesama. Mulai dari kebaikan, bermanfaatan, dan kebenaran.
Kalau blogger gak suka berbagi, ya pasti blognya sepi konten dan pengunjung. Hehe. Kalau tanpa itu ya buat apa jadi blogger? Karena bakalan capek sendiri. 😀
Aku pribadi berupaya membagikan cerita, pengalaman, hingga pemikiran positif di blog ku. Aku ingin memberikan sudut pandang yang lain dan menyadarkan kalau potensi kamu saat ini adalah yang terbaik.
Aku juga sharing tips bagaimana aku melakukannya, karena bersifat teknis aku buka-bukaan aja apa yang ku lakukan.
Intinya jadi blogger mesti punya otot berbagi yang besar, karena mustahil bisa terbentuk konten yang berkualitas kalau gak didasari rasa ingin berbagi.
Prinsip inilah yang mampu menanggulangi berita hoaks yang bertebaran di jagat digital. Aku menjalani blogger, sangatlah berhati hati memposting tulisan. Karena aku mempertaruhkan kredibilitas dan nama baikku.
Lah iya, ini blog pribadi, nama ku terpampang jelas. Mana mungkin aku akan menyebarkan berita hoaks.
Emang sih ya, sekarang ini orang lebih mudah terpicu oleh headline bombastis dan isinya biasa ajah. 🙁
Itulah peran blogger, menjaga kedamaian, serta keutuhan NKRI di Jagat Digital. Aku pribadi kalau menulis pasti mencantumkan referensi, kutipan. Dan dibumbui pengalaman. Jadi mana mau aku menyebarkan berita hoaks.
Memberi Perspektif lain
Saat ada berita pengeboman di Surabaya. Langsung viral kan ya? Karena semua media hampir meliput peristiwa itu, namun kumparan jauh lebih cepat dibanding media lainnya.
Karena saat itu aku dapet info ada pengemboman dari Aplikasi Kumparan.com.
Aku merasakan kegelisahan saat banyak orang memposting hashtag #KamiTidakTakut di hampir seluruh media sosial, facebook, twitter, whatsapp, dan Instagram.
Aku memahami di balik kata tersebut. #KamiTidakTakut memiliki muatan energi negatif yang membuat kita makin resah akan keberadaan teroris. Jangan perkeruh lagi dengan sesuatu kita sendiri gak tau makna dan dampaknya.
Akhirnya, sehari setelahnya aku menulis. Aku menghimpun referensi yang pernah ku baca. Kalau menggunakan #KamiTidakTakut adalah upaya tak baik, yang akan memperburuk keadaan, merugikan diri sendiri.
Awalnya agak ragu, takut untuk dishare ke Facebook. Dan BOOM! Ratusan orang baca dalam sehari. Hingga tercatat dua hari menghasilkan 200share.
Bagiku ini pencapaian yang cukup siginifikan. Karena ini sifatanya pemikiran. Tapi ternyata ada orang yang sama dengan pemikiranku, lalu suka rela membagikannya di facebook.
Aku berupaya mengedukasi masyarakat untuk tidak terpengaruh menggunakan hastag #kamitidaktakut. Aku menyarankan #kitaberani. Karena kata “tidak” itu sendiri gak akan direspon oleh otak. Kenapa?
Baca lebih lanjut: Menelisik Kata #KamiTidakTakut
Lalu aku ingat dengan cerita Socrates. Ketika itu Socrates berjumpa dengan seorang pria lalu berkata “Taukah Anda apa yang baru saja Saya dengar mengenai salah seorang teman Anda?”
“tunggu sebentar” sahut Socrates. “Sebelum memberitahukan Saya sesuatu, Saya ingin Anda melewati sebuah ujian kecil. Ujian tersebut dinamakan Ujian Saringan Tiga Lapis.”
“Saringan Tiga Lapis?” tanya Pria tersebut.
Singkat cerita, Socrates menanyakan satu persatu kepada pria tu. Yang isinya seperti ini:
“Apakah informasi yang hendak kau sampaikan itu mengandung KEBENARAN?”,
“Apakah informasi yang hendak kau sampaikan itu mengandung KEBAIKAN?”,
“Apakah informasi yang hendak kau sampaikan itu mengandung KEGUNAAN?”
Jawaban pria itu semua “TIDAK”. Lantas Socrates menjawab “yang Anda sampaikan tidak mengandung KEBENARAN, KEBAIKAN, dan KEGUNAAN. Lantas mengapa Anda ingin menceritakannya kepada Saya?”
Cerita ini membuat ku menjadi berfilsafat, mempertanyaan kebeneran saat ada isu keberadaan mahasiswa ISIS di Universitas Syarif Hidayatullah.
Saat itu aku berdiskusi dengan mahasiswa dari organisasi eksternal. Kami asik saja saja berdiskusi.
Tiba tiba teman ku menyeletuk “Di UIN juga ada tuh ISIS, Mas”. Aku mengiyakan aja. Tapi informasi ini aku jadikan diskusi saat mata kuliah filsafat komunikasi.
Karena aku mengacu kepada Saringan Tiga Lapis Socrates. Ya, masuk akal kan? Ketika aku belum melihat orangnya (ISIS), lalu mendengar beritanya.
Lantas bagaimana aku bisa menyebarkan ini ke orang orang? Yang aku sendiri tak tahu bagaiamana seorang mahasiswa ISIS itu sendiri.
Jadi, bila kamu mendapatkan informasi yang kurang pas menurutmu, gunakan Saringan Tiga Lapis Socrates, jadi jangan asal share aja. Woke?
Siapa yang layak dipercaya?
Ada banyak blog yang gak kredibel, seperti menggunakan subdomain dari bawaan penyedia gratis. Seperti .blogspot.com, .wordpress.com, .wix.com. Blog model seperti itu yang rawan ngeshare berita hoaks.
Apa pasal?
Sederhana banget, karena identitas mereka disembunyikan, jadi mereka bebas mau menginformasikan apa pun selama berpotensi viral.
Sialnya warganet Indonesia ngeshare dulu, baru baca. Setelah menyebar, baru deh nyesel. Padahal blog yang masih menggunakan subdomain penyedia jasa blog, itu tak layak dipercaya.
Lalu, Siapa?
#1. Media/Web Portal
Kamu bisa dapetin informasi dari media yang punya kredibelitas tinggi, misalnya detik.com dan kompas.com. aku percaya kedua media itu.
Headlinenya gak bombastis seperti blog yang mengejar views. Hehe.
#2. Akun Official
Akun official ini lebih tepatnya media sosial dari web portal atau dari stasiun televisi. Ciri ciri official ini ada tanda centang atau terverifikasi.
Ada pun akun official lainnya, seperti Humas PMJ (Polda Metro Jaya). Selain dikelola langsung oleh Polda Metro Jaya. Informasinya lebih uptodate di media sosial.
Follow @humas.pmj @kabidhumaspmj
#3. Blogger
Jangan remehkan blogger. Karena kebanyakan blogger meluangkan waktunya untuk meriset sebuah konten. Termasuk aku.
Selain domainnya menggunakan (.com, .net, .id.), isi yang berbobot, profil penulisnya jelas, juga bisa dipertanggungjawabkan.
Aku menggunakan buku referensi untuk menguatkan opiniku. Agar apa yang ku sampaikan ke publik. Bisa diterima.
Inilah yang aku dan kamu bisa lakukan untuk menangkal hoaks. Menjadikan jagat digital jauh lebih damai, dan terjaganya NKRI. []
Referensi: Happiness Inside, Gobind Vashdev.