Mungkin kamu pernah bertanya, “bagaimana cara membaca buku yang tepat?”, aku pun demikian.
Di postingan ini aku ingin berbagi pengalaman bagaimana membaca yang memberikan dampak pada diri kita.
Jadi, tanpa lama-lama lagi. Yuk, baca sampai selesai. Siap, ya?
Kondisi Pikiran Juga Menentukan
Aktivitas membaca melibatkan aktivitas berpikir. Entah itu merenungi apa yang dibaca, atau mengimajinasikan apa yang kita baca.
Membaca ketika lelah, ngantuk, pusing, aku nggak menyarankan itu. Karena pikiran kita akan semakin lelah dan capek.
Aku pernah ingin membaca buku yang bagus banget isinya, Berani Tidak Disukai. Tapi, ngantuk banget. Yaudah aku nggak ingin memaksakan untuk membaca.
Karena membaca itu kenikmatan yang nggak boleh dilewatkan. Masa iya, hanya karena kita ingin segera tau apa yang sedang kita baca, kita tergesa-gesa ingin segera menyelesaikan yang kita baca?
Bukankah membaca itu nikmat? Kenapa mesti segera ingin selesai?
Ada pun, aku pernah ketika lagi pusing dengan kerjaan, aku memilih membaca untuk menenangkan diri.
Memilih buku yang membuatku merasa “ah, aku tenang sekali membaca buku ini”. Biasanya aku akan membuka buku-buku yang pernah aku baca.
Merasa tercerahkan dari sebuah bacaan, membuatku merasa feel good. Sehingga perasaan pusing atau stres itu segera sirna. Haha.
Ini kulakukan sejak aku pertama kali tau, kalau pusing bisa dialihkan dengan membaca buku yang kita sukai.
So, kalau mau baca bukunya jadi berdampak dan kebetulan buku itu baru kamu beli, mengondisikan pikiran sebelum membaca juga perlu kamu perhatikan.
Mindset Membaca: Setiap Buku adalah Buku Baru
Siapa di sini yang suka beli buku tapi buku sebelumnya belum selesai dibaca?
Tenang, bukan kamu aja, kok. Aku juga begitu, haha. Awalnya aku merasa bersalah karena buku yang kubeli sebelumnya nggak habis kubaca.
Alasannya klasik: ingin buku baru. Hmm. Padahal buku baru saja kubeli, tapi selalu ingin baru.
Sampai pada akhirnya aku mendapatkan insight “setiap buku yang kita baca adalah buku baru”. Mindset ini yang mengondisikan pikiran kita siap untuk menerima ilmu atau informasi apa pun.
Karena terkadang ketika kita membaca buku yang sudah dibaca sebelumnya atau tahun terbit buku tersebut udah lama banget, kita jadi kurang semangat. Atau persisnya aku yang nggak semangat. Haha.
Maka, aku memilih mindset “setiap buku yang kubaca adalah buku baru”. Karena aku teringat perkataan dosenku, Pak Sopian.
Aku lupa saat itu beliau sedang mengajar apa, tapi yang jelas beliau adalah penulis buku PR Writing. Nah, perkataan beliau begini kira-kira:
“buku meski terbitnya 10 tahun yang lalu, kalau belum kita baca, buku itu baru”.
JLEB! Terkadang aku nggak mau baca buku yang terbitannya lampau, kupikir informasinya akan nggak relevan.
Ternyata aku salah memilih pikiran seperti itu, lebih tepatnya nggak mendukung aku untuk menyerap lebih banyak informasi melalui buku-buku.
Jadi, buku apa pun, selama genrenya masih kusuka, yakni self-development, marketing, bisnis, dan writing. Akan kulahap, meski tahun terbitnya udah lawas.
Bagaimana dengan kamu?
Tanda Buku Itu Sangat Kubutuhkan
Aku semakin menyadari apa yang membuatku (memilih) tidak menyelesaikan membaca dari buku-buku yang kubeli.
Ya, buku itu nggak menarik perhatianku, isinya biasa saja.
Tapi, itu mindsetku dulu, setelah aku belajar leadership. Bukan bukunya yang nggak menarik, tapi diriku yang belum tertarik, belum butuh, dan belum siap menerima ilmu tersebut.
Jadi, berasa ya? Pergeseran paradigma dari eksternal, menjadi internal. Karena kalau kita mau mengubah, baiknya dari dalam, yakni kesadaran.
Mungkin nggak banyak buku yang kubaca sampai selesai. Meski demikian, tapi aku tetap mendapatkan pemikiran dari buku tersebut.
Aku merasa buku-buku yang kubaca sampai selesai, adalah buku yang diriku sudah siap, tertarik, dan sangat membutuhkan buku itu.
Misalnya, waktu itu aku membaca buku Disruption karya Rhenald Kasali, cukup tebal. Dan pembahasannya juga cukup menarik, aku habiskan dalam satu bulan.
Karena memang isinya benar-benar aku butuhkan. Saat itu terjadi fenomena antara ojek online dengan para angkot saling berseteru. Wah, aku mendapatkan jawaban dari peristiwa disurupsi ini.
Lanjut, ya?
Setiap Buku Saling Terhubung
Pernah nggak sih kalau abis baca buku A, ingin sekali membaca buku yang lain?
Tentu saja ini normal dan sering terjadi kepada mereka yang candu terhadap buku.
Misalnya aja, sekarang aku membaca buku Berani Tidak Disukai. Lalu, aku melihat buku yang dikarang oleh penulis yang sama, yakni Berani Bahagia. Aku akan membeli dan membacanya. Haha.
Se-excited itu aku sama buku. Tapi, terkadang buku yang saling terhubung itu nggak selalu kita butuhkan dan siap menerima informasi tersebut.
Bisa jadi kita mesti menjalani peristiwa atau baca buku yang lain dulu, baru memahami apa yang disampaikan di buku kelanjutannya itu.
Karena ketika aku membaca buku Mark Manson yang berjudul Sebuah Seni untuk Bersikap Bodoamat, itu aku baca sampai selesai, bahkan kubaca berkali-kail.
Tapi, ketika aku membeli dan membaca buku Everything is F*ck atau yang diterjemahkan oleh Gramedia Segala-galanya Ambyar, aku malah nggak mengerti apa yang disampaikan oleh Mark.
Lagi – lagi, kembali ke definisi buku yang kubutuhkan, berarti aku belum siap menerima informasi di buku itu.
Karena ada juga buku yang aku beli beberapa tahun yang lalu dan kubaca akhir-akhir ini. Dan reaksiku “wah, kok ini menarik banget, ya? Kok dulu belum paham dan kepikiran”.
Kira-kira begitu reaksiku terhadap buku yang pernah aku beli, tapi nggak langsung aku baca karena belum paham.
Hmm. Gimana? Udah mulai ngebul baca tulisan ini? Hahaha.
Membaca adalah Proses Menginput Informasi
Membaca bagian dari komunikasi. Ya, membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan adalah 4 komponen komunikasi.
Jika kita maksimalkan, komunikasi kita akan berkualitas.
“maksudnya berkualitas, kak?”
Ya, dari berbicara kita runut, tidak gagap, dan mudah dipahami.
Lalu, cara kita menulis juga mudah dipahami, mereka tau maksud dari tulisan yang kita buat.
Juga, apa yang kita baca memberikan bobot terhadap apa yang kita bicarakan dan tuliskan.
Dan, yang nggak kalah penting adalah mendengarkan. Mendengarkan dengan penuh perhatian.
Jadi, menurut (alm.) Hernowo Hasim dalam Quantum Reading, proses membaca adalah proses input informasi. Nggak bisa langsung paham, tapi ada proses mencerna dari apa yang kita baca.
Sadari saja dulu soal konsep ini, jangan terburu-buru menilai apa yang sudah kita baca menjadi tak berguna.
Bagaimana memaksimalkan apa yang sudah kita baca? Baca terus sampai selesai. 😀
Inkubasi Setelah Membaca
Tanda-tanda pemahaman kita meningkat, ketika kita membaca buku yang sama tapi mendapatkan insight yang berbeda.
Karena informasi yang kita dapatkan berkembang. Terkadang aku sendiri sampe lupa kalau pemahaman tersebut kudapatkan dari suatu buku.
Aku sering banget begini. Caraku meningkatkan pemahaman setelah membaca adalah mendiskusikan dan mempraktekkannya.
Maksudnya praktek di sini, adalah mengimplementasikan ke hidupku. Meski nggak ada step-by-stepnya, tapi aku rasa kalau dipraktekkan akan mendapatkan manfaat.
Terkadang timbul pemahaman baru ketika diskusi dan praktek. Itulah yang terkadang aku share dalam bentuk konten di Instagram atau di blog.
Bagaimana pengalamanmu saat membaca buku? Share dong. 🙂
ada cara ga ka buat membaca buku agar cepat hafal apalagi kl ujian hapalan tau ujung sama belakangnya doang tengahnya blong hehehe
aku juga sering banget beli buku baru padahal buku sebelumnya belum selesai dibaca, wkwkwk.
Ketika aku baca lagi eh malah lupa halaman terakhir yang kubaca yang mana. Alhasil jadi baca ulang.
Memang bener sih, pas kita siap menerima ilmu dalam buku tersebut, rasanya beda ketika kita baru pertama kali baca dimana ketika itu otak kita belum siap menerima ilmunya.