Cara Mengatasi Cemas Berlebihan? Inilah 3 Langkahnya!

C

“Kepanikan adalah separuh penyakit, ketenangan adalah separuh obat, dan kesabaran adalah permulaan kesembuhan.” – Ibnu Sina

Mungkin kamu pernah merasa panik? Lalu, ada sensasi di tubuh kamu?

Entah bagian ulu hati, dada, atau leher?

Atau ketika kamu merasa cemas, emosi kamu menjadi nggak stabil?

Dalam Terapi Berpikir Positif, dikatakan pada tahun 1986, penelitian Fakultas Kedokteran Universitas San Francisco,

menyebutkan 80% pikiran manusia bersifat negatif, dan itu memengaruhi perasaan, pikiran, serta penyakit yang mendera jiwa dan raga.

Jadi nggak heran, kalau tubuh kita jadi mudah sakit, boleh jadi pikiran kita terlalu mudah untuk cemaskan sesuatu.

Mau terbebas dari rasa cemas berlebihan?

Baca sampai tuntas.

Oke?

Baca juga: Kenapa Dua Kemampuan Ini Penting Kamu Miliki?

 

Cemas Berlebihan vs Bahagia?

“Kita hanya bisa merasakan satu perasaan di satu waktu.” ~ Dale Carnegie

Pernahkah kamu ketika tertawa terbahak-bahak atau ngakak sampe guling-guling, di saat yang sama kamu merasa sedih nggak karuan?

Rasanya mustahil itu terjadi, karena otak kita diciptakan untuk fokus pada hal-hal yang menurut kita penting, menurut kita layak jadi perhatian.

Buktinya di waktu yang sama, ketika kamu membaca tulisan ini dengan fokus, kamu mengabaikan suara di luar, orang berbicara, detak jantung, hingga detak jam. Iya?

Menurut Arvan Pradiansyah dalam The 7 Laws of Happiness, “bahaga adalah memilih pikiran”. Ya, karena kita nggak bisa memilih keduanya.

Ketika kita merasa bahagia, nggak ada celah untuk rasa cemas masuk ke ruang bahagia.

“kok, memilih pikiran, Kak?”

Seperti yang dr. Jiemi katakan dalam Merawat Luka Batin, “pikiran hanyalah pikiran, bukan realitas”.

Ketika kamu membayangkan ketakutan ketika presentasi di depan kelas, atau pergi keluar rumah takut terjadi hal yang tak diinginkan.

Itu adalah pikiran yang kita putar di dalam benak. Yang sebenarnya bisa kita ganti dengan pikiran yang menyenangkan.

Karena Robin Sharma dalam The Monk Who Sold His Ferrari, “manajemen pikiran adalah inti manajemen kehidupan”.

Ketika kesadaranmu meningkat, bahwa rasa cemas dan bahagia adalah tentang pikiran, kamu akan menjaga betul pikiran tersebut.

Kenapa? Kamu akan mengetahuinya setelah membaca sampai tuntas.

 

Pikiran Melahirkan…

“Apa yang kita pikirkan, adalah apa yang kita rasakan” ~ The Science of Wealth

Sebelum kita merasa, adakah pikiran yang hadir? Ya, tentu saja.

Sebelum kita merasakan sesuatu, ada pikiran yang hadir dalam bentuk visual dalam pikiran kita.

Cara termudah tau pikiran kita negatif atau positif adalah rasanya.

Erbe Sentanu dalam Quantum Ikhlas mengatakan, “pikiran positif tapi rasanya nggak enak, itu pikiran negatif. Karena pikiran positif itu rasanya enak”.

Bisa dibayangkan pikiran yang melahirkan perasaan enak itu?

Ya, damai, tenang, bahagia, apa pun itu namanya.

Tapi, bagaimana ketika pikiran kita cemas dan terus mengulangnya lebih sering?

Ya, kita menjadi merasa:

Nggak enakan sama orang lain;

Nggak percaya diri;

Merasa takut pada tempat yang tak semestinya;

Merasa insecure;

Merasa minder;

Overthinking.

Kita ambil contoh sederhana, ketika kita merasa nggak enakan, itu artinya kita terlalu memikirkan respon orang lain, dengan berkata kepada diri sendiri “gimana kalau…”

Padahal kecemasan itu hanya ada di dalam pikiran kita. Maka dari itu, berasumsi itu berbahaya sekali, karena berhubungan dengan bagaimana kita merespon.

Bukankah ketika kita berprasangka buruk kepada orang lain, kita akan merespon dengan posisi bertahan atau melindungi diri sendiri. Iya?

Berbeda ketika kita berprasangka baik, kita bersikap terbuka.

Jadi akar dari perasaan yang tak memberdayakan dan hadir bukan pada tempatnya, adalah perasaan cemas.

Kenapa Instagram memberikan fitur “menyembunyikan berapa orang yang suka”?

Mungkin agar kita terbebas dari mencemaskan angka-angka itu, takut orang lain berpikir, “ah, likesnya kecil, berarti jelek nih”. Hehehe…

Padahal nggak juga.

Ketika kita bermain socmed, kita jadi memiliki ekspektasi.

Ekspektasi ingin diterima, ingin disukai, dan diakui.

Kalau itu nggak terpenuhi, ego kita yang jadi tersakiti.

Hmm…

Lagi – lagi itu hanya pikiran kita.

Baca juga: Komunikasi adalah ‘Mata Uang’ dalam Relasi?

 

3 Penangkal Rasa Cemas Berlebihan

Kenapa kita cemas?

Karena kita takut.

Lebih tepatnya tidak siap dengan hal yang tidak kita ketahui.

Mungkin kamu pernah dikagetin seseorang?

Gimana rasanya? Terkejut, bukan?

Pikiran kita canggih sekali, terkadang membawa masa lalu ke masa sekarang dengan alasan takut dengan kejadian lalu terulang kembali.

Padahal masa lalu dengan masa sekarang berbeda sekali.

Juga ketika mencemaskan masa depan, karena takut nggak bisa seperti sekarang.

Padahal masa depan tergantung hari ini, maksudnya kalau kita berproses, hukum alam nggak akan pernah salah.

Nggak mungkin batu yang dilempar akan terbang ke atas, pasti ke bawah.

Menetapkan target itu perlu tapi lupakan saja, fokus ke hal yang kita bisa lakukan hari ini.

Oke, lanjut ke pengkal pertama.

 

Pertama, Siap dengan Kemungkinan Terburuk

Agar makin jelas, kita terapkan saat kita ingin posting di Instagram atau blog.

“apa kemungkinan terburuk kalau aku posting ini?”

“nggak ada yang like, komen, bahkan share. Nggak ada yang berkunjung, yang artinya nggak ada yang baca.”

“apa kamu siap?”

“nggak…”

Nah, kita jeda dulu dialognya.

Ada dua respon yang dijawab oleh diri kita sendiri, “ya” atau “tidak”.

Kalau dirimu menjawab “ya”, artinya selesailah perasaan cemas itu. Toh, kalau nggak ada yang respon memang sudah siap dengan kemungkinan terburuknya.

Kita jadi nggak berekspektasi kepada apa yang kita lakukan dan orang lain.

Kalau jawabannya “nggak”, pertanyaan selanjutnya.

“gimana biar itu nggak terjadi?”

Berarti mencari cara agar bisa menarik perhatian audiens, bagaimana tulisan kita masuk Google.

Artinya kita perlu belajar lagi, agar apa yang kita cemaskan nggak terjadi.

Kalau pun sudah belajar, ternyata belum ada dampak, ya, terus belajar, sampai bisa mendapatkan yang diinginkan.

Bukankah ada kutipan “untuk mendapatkan apa belum inginkan, lakukan apa yang belum pernah kita lakukan sebelumnya”?

Oke, lanjuuut!

 

Kedua, Manajemen Pikiran

“manajemen pikiran adalah inti dari manajemen kehidupan” – Robin Sharma

Masih ingat sebelumnya?

Kalau kita hanya bisa merasa di satu waktu, dan pikiran hanyalah pikiran, bukan realitas. Masih ingat?

Ketika kita ingin bahagia, yang perlu kita lakukan adalah memilih pikiran. Karena di dalam aksi kebaikan pun tetap ada prasangka buruk.

Ibarat selalu ada ilalang tumbuh di kebun, meski kita nggak pernah menanamnya.

Ketahuilah bahwa bahagia itu dari dalam bukan dari luar. Bahkan dunia luar, tergantung dunia dalam.

Maksudnya realitas yang kita lihat, tergantung dunia batin yang kita rasakan.

Masih ingat juga kan? Kalau apa yang kita pikirkan, adalah apa yang kita rasakan.

Maka penting sekali untuk merawat rasa bahagia dengan memilih pikiran yang memberdayakan, membahagiakan, dan menyenangkan.

“tapi, aku sulit untuk berpikir positif, Kak?”

Kalau ada kemungkinan terburuk, artinya ada kemungkinan lain yang bisa kita bayangkan.

Kalau perasaan udah terlanjur nggak nyaman, hentikan membayangkan atau memikirkan. Istirahatkan pikiran terlebih dahulu.

Oke?

Karena akan sangat memengaruhi….

 

Ketiga, Seni Merespon Keadaan

…cara kita merespon.

Ya, kalau kita merasa nggak nyaman, respon kita jadi reaktif bukan responsif.

Misalnya kamu di posisi nggak punya uang, lalu dikatain “ah, miskin lu. Gitu aja nggak bisa beli”.

Kalau kita reaktif, kita langsung marah, kalau kita responsif, kita diam dan memilih tidak merespon.

Karena tidak merespon adalah respon.

Kalau Mario Teguh mengatakan, “bukan perkataan orang lain yang membuat kita tersinggung. Tapi diri kita yang nggak nyaman dengan perkataan tersebut”.

Kembali lagi ke apa yang kita pikirkan adalah apa yang kita rasakan.

Karena yang membuat kita marah adalah pikiran kita yang ingin merespon dengan kemarahan bukan kedamaian.

Betul, ini nggak mudah, tapi bukankah jauh lebih nggak mudah ketika kata-kata yang menyakitkan itu ditarik kembali? 🙂

 

Pikiran Seperti Otot, Perlu Dilatih

“Taman pikiran perlu dirawat dan dijaga, agar terbebas sampah” – Robin Sharma

Bisa kamu bayangkan, ketika kamu memiliki taman, lalu ada seorang temanmu datang membawa sampah, lalu ingin membuang sampah tersebut di tamanmu.

Apakah kamu setuju? Apakah kamu rela?

Tentu saja nggak, kan?

Pikiran itu ibarat otot, perlu dilatih agar kekuatannya menjadi maksimal.

Apa yang perlu kita latih?

Ya, itu tadi merawat pikiran dari ilalang yang tumbuh di kebun, atau hama yang mengganggu keindahan taman.

Lalu, terbiasa untuk fokus pada hal yang kita kerjakan saat itu.

Latihan fokus pada satu perhatian.

Ketika makan, ya, makan.

Ketika bekerja, ya, bekerja.

Ketika istirahat, ya, istirahat.

Jadi kita perlu merawat taman pikiran setiap saat, agar tidak segera muncul ilalang (baca: pikiran negatif) yang mengganggu dan mengusik perasaan damai kita.

Hmm. Nggak kerasa udah sampai akhir.

Terima kasih sudah membaca sampai akhir.

Mudah-mudahan bermanfaat untuk kamu. 🙂

 

Salam,

Dwi Andika Pratama

Founder ImpactfulWriting®

NB: Sedang mencari pelatihan content writer? Bisa konsultasi aja dulu.

About the author

Dwi Andika Pratama

Founder ImpactfulWriting.com | Professional Impactful Writer | Mentor at CertifiedImpactfulWriter.com

2 comments

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Penulis Blog Ini

Dwi Andika Pratama sapaan akrabnya Kadika. blogger sejak 2012. Menjuarai lebih dari 10x Kompetisi Blog. Penikmat Buku Pengembangan Diri dan Marketing. selengkapnya…

Paling Dicari

Kategori

Part of BloggerHub.id

I’M Certified Impactful Writer

I'M Certified Impactful Writer Certified Impactful Writer
error: Content is protected!

Eksplorasi konten lain dari Dwi Andika Pratama

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca