Aku Mengenalnya lewat Karya
Tahun 2016 aku sedang mengalami penurunan semangat dalam menulis. Rasanya malas sekali untuk posting tulisan. Pokoknya terasa berat ketika ingin menulis tuh.
Bertepatan saat itu ada Islamic Book Fair. Aku menyempatkan diri dan berniat membeli buku Quantum Writing dan Quantum Reading yang pernah aku baca di toko buku Gramedia.
“lihat saja, sebentar lagi ku beli”. Gumamku. Ya, kamu tahu kalau di IBF itu biasanya buku didiskon mulai dari 20% hingga 70%. Kalau yang terbiasa ke sana, akan tahu penerbit mana saja yang ramai pengunjungnya.
Ya, salah satunya adalah Penerbit Mizan. Aku langsung mencari kedua buku itu. Padahal aku ingin beli juga Quantum Learning-nya. Namun, tak ku temukan buku di IBF.
Karena bulan itu aku sedang libur semester ganjil. Jadi aku mengunjungi di hari kerja atau weekdays. Aku langsung membeli kedua buku itu dengan diskon 30%.
Aku tidak begitu sadar dengan siapa itu Hernowo Hasim. Aku pikir cuman penulis biasa yang meniru buku judul buku Quantum Learningnya Bobbi Depoter dan Mike Hernacki.
Ternyata aku salah menilainya. Memang Hernowo Hasim mengakui mendapatkan inspirasi untuk memilih judul Quantum Reading dan Quantum Writing dari buku Quantum Learning karya Bobbi Derpoter dan Mike Hernacki.
Namun, menurutku isinya ini lebih kaya. Karena dalam buku tersebut bukan hanya dari pemikiran Bobbi Depoter dan Mike Hernacki, ada juga Natelie Goldberg, Marion Woodman, Stephanie Merritt, dan Colin Rose.
Yang jelas Hernowo Hasim pandai membingkai pemikiran menjadi sebuah narasi yang mudah dipahami dan dipraktikkan.
Rasa Optimis itu Hadir Kembali
Selesai membaca buku Quantum Reading. Aku lanjutkan ke buku Quantum Writing. Kedua buku ini saling melengkapi.
Quantum Reading memaparkan teknik membaca dan bagaimana cara meningkatkan reading skill kita. Kalau Quantum Writing lebih menitikberatkan teknik menulis dan menjelaskan kalau menulis itu bisa membuat bahagia.
Aku sangat terinspirasi dan membangkitkan optimisme untuk menulis lagi. Mengutip Bobbi Depoter dan Mike Hernacki dalam buku Quantum Writing:
“Percaya atau tidak, kita semua adalah penulis. Di suatu tempat di dalam diri setiap manusia ada jiwa unik yang berbakat yang mendapatkan kepuasaan mendalam karena menceritakan suatu kisah, menerangkan bagaimana melakukan sesuatu, atau sekadar berbagi rasa dan pikiran.
Dorongan untuk menulis itu sama besarnya dorongan untuk berbicara; untuk mengomunikasikan pikiran dan pengalaman kita kepada orang lain; untuk, paling tidak, menunjukkan kepada mereka siapa kita,” (Quantum Learning, halaman 178)
Aku yakin kalau kamu membaca kutipan di atas langsung merasa optimis dan semangat untuk menulis lagi. Karena menulis seperti dorongan ingin berbicara.
Dari situlah aku ingin terus menulis. Setidaknya aku mendapatkan pemahaman baru dari menulis. Aku mengutip kembali buku Quantum Writing “Membaca dan Menulis adalah salah satu bentuk interaksi dalam proses belajar”. (Quantum Writing, halaman 12).
Batinku benar-benar terpuaskan dengan berbagai pemikiran dan sudut pandang dari beberapa pakar di dalam buku Quantum Writing ini.
Aku bersyukur sekali bisa menemukan dan membaca buku Quantum Writing untuk referensi menulis dan meningkatkan keahlian menulis.
Bahagia yang Sederhana
Saat ku tahu menuliskan segala keresahan hati yang bisa menjadi terapi untuk diri sendiri. Bahkan di dalam buku Quantum Writing ada kutipan dari Fatima Mernissi “Usahakan menulis setiap hari. Niscaya, kulit Anda akan menjadi segar akibat kandungan manfaatnya yang luar biasa!” (Halaman 28).
Setelah aku membaca buku Quantum Writing sampai habis. Aku setiap hari mulai menulis diary. Dan ini menjadi kebutuhanku.
Kalau sedang pusing kepalaku dan kalut perasaanku. Aku menuangkan segala perasaanku ke dalam tulisan. Hasilnya? Emosi itu reda dengan sendirinya setelah menulis.
Di sini Hernowo menjelaskan pentingnya menulis dengan lepas, jujur kepada diri sendiri, bisa membuat kita bahagia. Bukan karena isinya, tapi proses pelepasan energi ke dalam tulisan.
Kamu bisa coba kok. Kalau lagi galau dan gak tau mesti curhat sama siapa. Kamu bisa menulis dengan sejujur-jujurnya. Dan rasakan hasilnya. Pasti lega.
Latihan Tiada Henti
Sejak itu aku terus melatih keahlianku. Aku tidak peduli mau seperti apa hasilnya. Yang paling penting adalah aku menulis tiada henti tentang apa yang aku rasakan hari itu, berapapun lamanya. Karena ini bersifat pribadi, terkadang aku hanya menyimpannya dalam bentuk file ataupun hanya dalam buku catatan.
Mungkin ada yang mengatakan menulis diary itu konyol. Seperti anak SMP atau sebutan lainnya. Tapi setelah aku mengetahui alasan di baliknya. Aku pecaya diri sekali menyampaikan kalau menulis diary adalah sarana untuk membahagiakan diri.
Bahakan dijelaskan dengan sering menulis masalah yang terjadi atau persisnya perasaan yang dirasa itupun sebagai proses menemukan jati diri. Begitu jelas Hernowo.
Mengikat Makna
Mengikat makna. Dua kata itulah yang tertancap dalam benakku dan mungkin di benak para pembaca buku Hernowo. Inti dari semua buku-bukunya adalah mengikat makna.
Apa yang dimaksud mengikat makna? Membaca sederetan teks dan dilanjutkan dengan menuliskan pemahaman atas teks tersebut. (Buku Flow di Era Socmed, halaman 8)
Sesederhana itu, namun untuk mendapatkan pemahaman kita memang butuh latihan dan latihan. Karena menulis dan membaca adalah keahlian. Dan keahlian hanya bisa didapat dari latihan.
Nostalgia dengan Karya Terbaru
Sudah lama aku tak membaca buku Quantum Writing. Biasanya kalau aku sudah melakukan dari apa yang ku baca dan aku membaca bukunya lagi, ada pemahaman yang berbeda.
Saat itu aku pergi ke toko buku Gramedia dan tak sadar kalau buku baru yang ku temukan adalah buku Hernowo Hasim.
Padahal saat itu keuanganku hanya cukup untuk sehari-hari kuliah. Tapi, karena sudah diperhitungkan aku memutuskan untuk membeli tanpa ragu.
Dan benar saja. Buku ini salah satu terbaik yang pernah ku baca. Bisa dibilang pengembangan ide dari buku Quantum Writing.
Kalau di Quantum Writing nama Hernowo Hasim masih Editor alias ia hanya mengumpulkan pemikiran banyak pakar untuk menguatkan Quantum Writing itu.
Namun di buku terbarunya yang terbit November 2017 berjudul Free Writing lebih mendalam menjelaskan betapa pentingnya proses menulis dibandingkan hasil.
Bahkan ia menantang untuk menulis 10 menit setiap hari sebagai latihan untuk meraih kebahagian dari menulis.
Akhirnya Aku akan Bertemu
Excited banget ketika tahu ada kontes review buku Free Writing yang diadakan oleh penerbit Bentang Pustaka (B-First) di Instagram.
Karena aku sendiri sudah merasakan manfaat dari buku Free Writing dan sudah mereview di blog. Aku pede banget bisa mendapatkan kontes tersebut.
Aku posting foto beserta caption di akun Instagram-ku. Aku menulis apa yang ku pernah lakukan dan rasakan setelah baca buku Free Writing sekaligus link review dari blogku.
Akhirnya aku menang. Yes! Aku terpilih dari salah satu di antara lima pemenang yang akan menulis bersama Hernowo.
Aku sempat kesal karena sejak diumumkan dari bulan april hingga mei tidak ada tindakan sama sekali dari penerbit mengenai kelas menulis online bersama Hernowo.
Allah Sayang Mas Hernowo
Saat aku tahu Mas Hernowo meninggal dunia. Ya Allah rasanya merinding. Baru kemarin berharap sekali bisa belajar menulis bersama beliau. Tapi Allah sayang Mas Hernowo.
Pria kelahiran 12 Juli 1957 (atau generasi yang lahir pada tahun ini disebut babyboomer) dan pernah menjadi CEO Mizan Publishing 28 tahun lamanya.
Walau terbilang cukup tidak muda lagi. Mas Hernowo ini selalu update ilmunya. Bahkan mengadakan kelas secara online. Dan ada lagi bukunya yang berjudul Flow di Era Socmed.
“Ya, Allah gak ada kabar lagi dari penerbit Bentang Pustaka. Eh ada kabar lagi kabar duka” gumam hatiku. Setelah ada pengumuman aku mencoba memfollow-up yang ku tanyakan lewat DM(Direct Message) di Instagram. Mereka mengatakan akan segera.
Ternyata Mas Hernowo sedang tidak bisa mengajar kami. Merinding rasanya saat tahu berita duka. Karena sebelumnya pihak penerbit tidak mengkomunikasikan kondisi keadaan Mas Hernowo. Padahal aku sudah senang sekali dan akan banyak bertanya apa saja yang ku dapat melalui karyanya.
Melanjutkan Misi
Tidak apa. Tidak apa aku belum pernah bertemu denganmu. Kau memang tak lagi ada di dunia. Tapi karyamu akan dikenang sepanjang masa.
Aku belum pernah bertemu tapi manfaatnya besar dan berpengaruh sekali dalam hidupku. Aku ini awalnya tidak suka membaca dan menulis tapi semakin ke sini aku memutuskan kalau hidupku dari menulis (Professional Blogger).
Aku ingin melanjutkan misimu, Mas. Menyebarkan kebaikan kepada banyak orang melalui buku. Mungkin saat ini aku bisa menyebarkan itu melalui blogku. Mudah-mudahan kebaikan yang ku tulis sampai kepadamu.
Dari aku belum juara di kompetisi blog. Saat aku terus melatih dan belajar kepenulisan darimu. Kemampuan menulisku meningkat. Manfaatmu tak akan ku lupakan.
Mungkin bisa jadi apa yang ku lakukan bisa sama bermanfaatnya sepertimu. Hanya saja dengan cara berbeda.
Sungguh, aku ingin menjadi sepertimu. Mati meninggalkan karya yang bermanfaat. []