“Niat adalah doa yang paling kuat.” ~ Deepak Chopra, Spiritual Scientist
Semenjak sadar dengan peristiwa yang telah terjadi, Kadika memilih berhati-hati berniat ketika menabung—mengalokasikan uang untuk keperluan sesuatu.
Bahkan nggak lagi menyebut DANA DARURAT—yang cukup popular di masyarakat—sebagai bentuk niat menyimpan uang.
Kenapa?
Kamu akan mengetahui jawabannya setelah membaca tuntas tulisan ini.
Apa itu Intensi?
“Energy flows where attention goes.” ~ Tony Robbins
Ya, intensi atau niat, adalah sesuatu yang nggak keliatan, tapi menentukan hasil akhir, menentukan kemana perhatian kita tertuju.
Bukankah kita familier mendengar perkataan seseorang yang udah menjalani sesuatu lalu berkata, “duh, kayaknya gue niatnya salah, nih.”
Iya?
Nabi Muhammad saw. Pernah bersabda, “segala amal tergantung niat.”
Ketika kita melihat fenoma sedekah yang dijadikan konten, kita nggak pernah tau niat seseorang melakukan itu, dan bagaimana orang menafsirkan itu, tergantung pengetahuan dan pemahaman yang ia miliki.
Tapi, kita bukan bahas itu, melainkan dampak dari—ketika kita menyadari—intensi ini sangatlah powerful.
Ada peneliti atom, yang penasaran kemana gerak elektron itu bergerak, tapi anehnya letak elektron itu berpindah-pindah yang dipengaruhi oleh niat si peneliti.
Artinya dalam fisika kuantum, niat itu tak terlihat, tapi menggerakkan.
Menakjubkan, bukan?
Bukankah ketika kita membaca berita seorang suami membunuh istrinya karena sudah niat? Karena udah sakit hati diselingkuhi selama 18 tahun.
Kalau yang udah pernah ikut kelas di Impactful Writing, mungkin familier dengan perkataan Kadika di awal, “apa-apa yang kita niatkan, itulah yang kita dapatkan.”
Karena Kadika pun seringkali niatnya beli buku cuman memuaskan rasa penasaran, ketika rasa penasaran itu terpuaskan, ya, menguap begitu saja pengetahuan dan rasa penasarannya. Wkwkwk.
“terus baiknya mesti gimana Kadika kalau udah terjadi begitu?”
Ya, meniatkan kembali apa yang akan kita lakukan, cuman sekarang Kadika makin sadar dengan niat, kenapa?
Kamu akan mengetahui jawabannya setelah menuntaskan membaca tulisan ini.
Lanjut, oke?
Atensi Digerakkan Intensi
“Energy goes where attention flows” ~ Tony Robin
Fokus kita, tergantung niat kita, seriusan.
Karena niatnya cuman memuaskan rasa penasaran, ya, otak akan terfokus mencari apa yang membuat kita penasaran.
Berbeda kalau niatnya, mau dapetin solusi, ya, otak akan memberikan perintah agar mencari solusi dari buku yang dibaca.
Ibarat lampu sorot, ia akan menyoroti sesuai yang menggerakkan, yaitu niat. Jadi, sadari niatmu.
Karena kalau kita fokusnya ngomongin orang dengan intensi dendam, atau senang membicarakan kejelekkan orang lain, nggak lama kita akan seperti orang yang kita bicarakan.
Jadi kita mengunduh sikap-sikap orang yang kita omongin, pernah ngalamin? Ngomongin kejelekan orang, terus kejelekan itu terjadi dalam diri kamu?
Naudzubillah min dzalik.
Itulah kenapa ketika ada berita yang kurang menyenangkan, ada peristiwa seseorang yang kurang baik. Niatnya adalah menyampaikan ibroh, alias pembelajaran, bukan berniat ngomongin karena menyenangkan. Wkwk. Bahaya.
Asli menulis ini juga bagian dari pengingat diriku sendiri, yang ada khilafnya, astagfirullah.
Cerita Ketika Lebaran
Sebenarnya ide tulisan ini adalah dari peristiwa yang aku alami ketika lebaran.
Ketika itu aku menghampiri bibiku—adiknya mamah, yang kebetulan pulang kampung lebaran tahun ini, karena beliau tinggal di Cimahi.
Aku langsung menghampirinya yang sedang duduk santai, karena kami semua sehabis pulang dari ziarah makam kakek—ayahnya bibi dan mamah.
“nih, teh buat beli sabun” sambil menyodorkan uang ke tangannya.
Kebetulan Bibiku ini aktif sekali ikut kajian, dan beliau mengingatkan,
“nggak boleh gitu, ya A, kalau buat jajan mah, buat jajan aja. Kalau bilang buat beli sabun, terus nggak dibeliin sabun, nanti dosa, karena nggak amanah.”
Segera aku meminta maaf dan merevisi niatnya—basa-basinya, wkwk.
“oh, ya, buat eteh jajan aja.”
Sapaan akrabku, biasa memanggilnya “Teh”, da urang sunda atuh. Wkwk.
Di bagian berikutnya ada hal yang mungkin familier di beranda kamu, sesuatu yang relate juga dari cerita ini.
Pentingnya kita menjaga niat ketika kita melakukan sesuatu.
“ah, Kadika riya nih, ngasih uang kok bilang-bilang.”
InsyaaAllah nggak, karena niatnya menceritakan pembelajaran di balik itu.
Aku ada pengalaman yang mungkin bisa kamu ambil hikmahnya, real ambil hikmahnya, karena pembelajaran ini mahal.
Baca juga: Cemas Berlebihan? Inilah 3 Penangkalnya!
Jangan Meniatkan Menabung untuk Dana Darurat
Setahun yang lalu, qodarullah, aku ingin membeli laptop yang harganya belasan juta, kita sebut saja MacBook,
…tapi belum urgent dan butuh banget, akhirnya kuurungkan niat itu, toh, kebutuhannya buat ngetik doang.
Hehehe…
Masih sayang aja uangnya kalau beli sesuatu yang belum aku butuhin banget, karena ada pengalaman beli barang yang nggak begitu butuh banget,
…cuman mereka-reka pikiran biar butuh, dan akhirnya beli tapi nggak begitu maksimal digunakannya.
“Ah, nanti aja deh belinya, bro” ujarku kepada kakakku.
“uangnya buat jaga-jaga dana darurat aja” sambungku.
Aku terbiasa keluar berdua dengan Kakakku, ya, buat diskusi apakah worth it mengeluarkan sekian untuk kebutuhan sekian. Dan sekalian brainstrom ide.
Qodarullah satu bulan kemudian uang tabungan yang aku niatkan untuk dana darurat, dan nilainya 2 kali lipat dari harga MacBook Air.
Ya, uang tersebut beneran buat dana darurat, dipake buat keperluan darurat—dan itu tidak kuinginkan. Wah, masyaaAllah banget.
Ya Allah, sejak saat itu aku berhati-hati sekali mengucapkan niat di hati, karena niat yang powerful itu tak terucap dan senyap dalam hati.
Ingat peniliti yang ingin mengamati pergerakan elektron atom? Ya, pergerakan itu dipengaruhi oleh niat si peneliti.
Akhirnya sekarang aku niatkan sesuai dengan kebutuhan, ya, kalau aku nabung buat nikah, ya, buat nikah.
Kalau pun ada uang lebih yang ingin aku tabung, niatnya adalah untuk kecukupan nafkah keluarga.
Karena saat ini aku tinggal bersama ibuku, sebab ayahku sudah meninggal dunia sejak 4 tahun lalu. Jadi selain bertanggung jawab atas hidupku, juga ibuku.
Traktir Kopi atau Harganya Setara Segelas Kopi?
Teknik marketing atau bahasa marketing agar mudah masuk ke benak audiens banyak sekali caranya, ya, salah satunya adalah “traktir saya kopi untuk mendapatkan materi ini”.
Apa salah?
Nggak juga, kok, itu menarik bagi yang tertarik dengan materinya.
Cuman aku ketrigger oleh statusnya mas Ery Medica, isinya begini:
“Sekarang Call to Action itu trendnya minta traktir kopi ya.. gimana kalau tak bikinin aja kopinya. :D”
Dulu ketika aku masih kerja, aku suka pake bahasa marketing yang seperti ini, “Lebih Murah dari Teh Dumdum”, yang mana saat itu teh tarik dumdum sedang popular, yang harganya 20rban.
Sedangkan harga yang dijual adalah 13rb atau 15rb gitu yah, aku lupa, tapi yang jelas tidak berfokus ke diri sendiri, tapi berfokus ke audiens.
Audiens popularnya apa nih? Ya, relate-kan dengan itu.
Kamu bisa tau ke mana arah pembicaraan kita? Ya, soal niat.
Aku komen di statusnya Mas Ery, kalau niatnya traktir kopi, jangan-jangan nanti uangnya abis buat ngopi. Wkwkwk.
Syukur-syukur sih ngeh dengan niatnya, yang niatnya sekadar menarik perhatian.
Tapi kalau aku, sih, kurang nyaman yang berfokus ke diri sendiri, lebih suka berfokus ke orang lain.
Itu niat yang tak disengaja aja memberikan dampak, apa lagi yang disengaja?
Iya?
Alhamdulillah aku merasakan manisnya ketika menyadari niat yang aku akan lakukan, bahkan caranya hadir dengan tak terduga-duga.
Qodarullah, bisa direkrut, berawal dari intensi di awal tahun 2017, “tahun depan pengen bayar kuliah sendiri”, jawabannya adalah ikut lomba blog, terus diarahkan untuk menghubungi kaprodi lalu dapat apresiasi dari kampus dan beasiswa, serta ditawari kerja remote.
Alhamdulillah… sungguh tak terbayang dengan cara-Nya.
Oh, ya, cerita itu udah aku tulis di Panduan Penulis, yang bisa kamu baca gratis.