Koleksi Pribadi. |
Ippho Santosa, telah menyadarkan ku melalui arti Sepasang Bidadari
Kurang lebih 4 tahun silam Saya nggak menyukai yang namanya aktivitas membaca. Benar benar nggak suka yang namanya membaca. Entah bagaimana rencana Allah berkata lain. Agustus 2012 adalah awal mula Saya suka membaca. Saya merasa heran, “kok bisa ya sampai suka baca gini”. Hmm. Entahlah, yang jelas Saya sangat bersyukur dengan hidayah ini.
Awalnya Saya hanya sekedar iseng mampir ke Gramedia dan mengecek buku baru. Tapi apalah daya. Ada dorongan yang timbul di hati Saya, agar membeli buku tersebut. Saya masih ingat, buku pertama kali yang menyadarkan Saya adalah buku “Allah tak pernah Ingkar Janji”. Rasanya seperti ditampar menggunakan rotan. “sakit” namun disitulah awal kesadaran Saya membaca menjadi meningkat.
2013 adalah momen dimana Saya membaca buku buku motivasi. Salah satunya Saya baca Muslim Millionaire (buku Ippho Santosa yang pertama kali Saya miliki). Saat itu Saya masih berusia 16 tahun dan masih sekolah kelas 11 MAN (Madrasah Aliyah Negeri). Saya terenyuh dengan buku itu. Yang Saya beli dari uang saku yang Saya sisihkan.
Saya SADAR, bahwa ini adalah Ippho Santosa yang memberikan Seminar Gratis 7 Keajaiban Rezeki di mesjid Al Azhar, Tangerang. Mungkin mas Ippho nggak pernah tau siapa siapa saja yang hadir. Yang jelas Saya hadir saat itu bersama kaka Saya. Kami mengikuti acara sampai selesai, dan disesi terakhir ada sesi sedekah bareng. Alhamdulillah kami bisa memberikan sedekah terbaik kami. Tak banyak, tapi kami ridho.
Saya terenyuh dan terhanyut dengan buku Muslim Millionaire. Saya sendiri sampai terharu dengan apa yang Saya baca. Di salah satu tulisan di buku itu disinggung soal buku 7 Keajaiban Rezeki. Dan Saya penasaran. Saya ingin segera membeli dan membacanya. Saya kumpulkan uang saku hari demi hari. Dan pada akhirnya Saya berhasil menyumpulkan untuk membeli buku itu.
Saya meminta kaka Saya untuk mengantar Saya ke Gramedia untuk membeli buku itu. Ya, kami terbiasa berdua ketika pergi ke toko buku. Rasanya saat itu hati Saya bergetar, entah bagaimana bisa demikian.
Saya langsung membaca buku itu sampai habis. Pada bagian pertama ada sidik jari kemenangan. Salah satunya adalah Saya dengan Ayah dan Ibu Saya ingin pergi haji bersama di tahun 2019. (doakan ya!).
Nah ini, di bagian kedua ini yang tak pernah bisa Saya lupakan yakni #SepasangBidadari, ya di sinilah Saya mengalami perubahan sikap terhadap ibu Saya. Dulunya Saya biasa biasa saja terhadap ibu Saya. Bahkan untuk minta maaf pun berat rasanya untuk Saya ungkapkan kepada ibu Saya. Saya sekarang jadi lebih dekat dan mesra dengan ibu Saya, karena ketika ibu Saya ingin nonton bioskop (salah satunya) Saya tenami hanya berdua saja. Hehe.
Lewat tulisan ini Saya mengucapkan terima kasih kepada mas Ippho, yang menjadi perantaraNya. Saya menjadi semakin sadar dengan keberadaan Ibu itu sangat penting khususnya sangat berperan keberhasilan anaknya. Bahkan Saya pernah menulis sebuah artikel dan dipublikasikan di mading sekolah. Saking Saya terharu dan termotivasi dan ingin membagikan semangat itu kepada mereka.
Saya masih ingat, ketika orang lain menyaksikan acara pelepasan siswa kelas XII. Saya malah asyik di perpus menikmati buku #7KeajaibanRezeki salah satunya ketika Saya membaca bagian #SepasangBidadari sampai sampai Saya meneteskan air mata.
Saat kita beusia 1 tahun, orangtua memandikan dan merawat kita. Sebagai balasan, kita malah menangis di tengah malam.
Saat kita berusia 2 tahun, orangtua mengajari kita berjalan. Sebagai balasan, kita malah kabur ketika orangtua memanggil kita.
Saat kita berusia 3 tahun, orangtua memasakan kita makanan kesukaan kita. Sebagai balasan, kita malah menumpahkannya.
Saat kita berusia 4 tahun, orangtua memberi kita pensil berwarna. Sebagai balasan, kita malah mencoret – coret dinding dengan pencil tersebut.
Saat kita berusia 5 tahun, orangtua membelikan kita baju yang bagus – bagus. Sebagai balasan, kita malah mengokotorinuya dengan bermain – main di lumpur.
Saat kita berusia 10 tahun, orang tua membayar mahal – mahal uang sekolah dan les kita. Sebagai balasan, kita malas-malasan bahkan bolos.
Saat kita berusia 11 tahun, orangtua mengantarkan kita ke mana – mana. Sebagai balasan, kita malah tidak mengucapkan salam ketika keluar rumah.
Saat kita berusia 12 tahun, orangtua mengizinkan kita menonton di bioskop dan acara lain di luar rumah bersama teman – teman kita. Sebagai balasan, kita malah minta orangtua duduk di barisan lain, terpisah dari kita dan teman – teman kita.
Saat kita berusia 13 tahun, orangtua membayar biaya kemah, biaya pramuka, dan biaya liburan kita. Sebagai balasan, kita malah tidak memberikan kabar ketika berada di luar rumah.
Saat kita berusia 14 tahun, orangtua pulang kerja dan ingin memeluk kita. Sebagai balasan, kita malah menolak dan mengeluh,”Papa, Mama, aku sudah besar!”.
Saat kita berusia 17 tahun, orangtua sedang menuggu telepon yang penting, sementara kita malah asyik menelepon teman – teman kita yang sama sekali tidak penting.
Saat kita berusia 18 tahun, orangtua menangis terharu ketika kita lulus SMA. Sebagai balasan, kita malah berpesta semalaman dan baru pulang keesokan harinya.
Saat kita berusia 19 tahun, orantua membayar biaya kuliah kita dan mengantar kita ke kampus pada hari pertama. Sebagai balasan, kita malah minta mereka berhenti jauh – jauh dari gerbang kampus dan menghardik, “Papa, Mama, aku malu! Aku ‘kan sudah gede”
Saat berusia 22 tahun, orangtua memeluk kita dengan haru ketika kita diwisuda. Sebagai balasan, kita malah bertanya kepadanya, “Papa, Mama, mana hadiahnya? Katanya mau membelikan aku ini dan itu ?”
Saat kita berusia 23 tahun, orangtua kita membelikan kita sebuah barang yang kita idam – idamkan. Sebagai balasan, kita malah mencela, “Duh! Kalau mau beli apa – apa untuk aku, bilang – bilang dong! Aku ‘kan nggak suka model seperti ni!”
Saat kita berusia 29 tahun, orangtua membantu membiayai pernikahan kita. Sebagai balasan, kita malah pindah ke luar kota, meninggalkan meraka, dan menghubungi mereka hanya dua kali setahun.
Saat kita berusia 30 tahun, orangtua memberi tahu kita sebagaimana cara merawat bayi. Sebagai balasan, kita malah berkata, “Papa, Mama zaman sekarang sudah beda, enggka perlu lagi cara – cara seperti dulu.”
Saat kita berusia 40 tahun, orangtua sakit – sakitan dan membutuhkan perawatan. Sebagai balasan, kita malah beralasan, “Papa, Mama, aku sudah berkeluarga. Aku punya tanggung jawab terhdap keluargaku.”
Saat membaca di atas tanpa sadar buku itu basah dengan air mata. Walaupun saat ini Saya masih belum memiliki bidadari yang kedua. Sungguh Saya sangat menyayangi ibu dan ayah Saya.
Dan Saya Sampaikan kepada Anda. Salah satu motivator Indonesia Favorit Saya adalah Ippho Santosa. Satu hal yang perlu mas Ippho ketahui. Saking memfavoritkannya Saya mengikuti apa yang Mas Ippho lakukan dan selenggarakan.
Ketika itu salah satu Guru Kami Sakit. Saya memberanikan diri untuk menjadi Pembicara di acara pengajian bulanan (pengajian yang biasa diadakan setiap bulannya). Saya mempraktikkan apa yang mas Ippho sampaikan. Setelah materi yang Saya sampaikan. Kami berdoa dengan khusyuk dan Saya membimbing. Memvisualisasikan bahwa guru kami sembuh total(LOA). Kami terhanyut dalam tangisan yang sadar telah membahasi pipi dan baju kami.
Di sesi terakhir. Saya melakukan apa yang mas Ippho lakukan, yakni sedekah bareng bareng. Ya, Alhamdulillah uangnya terkumpul 200rban. Sebuah kesenangan yang tiada tara bagi Saya yang hanya seorang siswa bisa meniru yang Mas Ippho lakukan di seminar yang pernah Saya hadiri.
Saya Menyukai seminar motivasi #7KeajaibanRezeki, karena di dalam seminar itu mas Ippho menjelaskan tentang pentingnya memulai dengan otak kanan. Itu juga Saya lakukan ketika Saya tampil berbicara dihadapan ratusan siswa – siswi. Dan yang paling menakjubkan. Dalam seminar #7KeajaibanRezeki mas Ippho membuat terharu audiens ketika menyampaikan bagian #SepasangBidadari. Dan #GolonganKanan mengajak kita untuk action. Oh yah, akibat baca buku #7KeajaibanRezeki saya jadi idealis untuk tetap berwirausaha. Hehe.