#1. Memainkan Peran Orangtua
Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan. Ada peran yang dimainkan. Begitu pun dalam berumah tangga, ada Ayah, ada Ibu, ada Anak. Semua memiliki peran masing masing.
Ayah mencari nafkah, Ibu yang mengurus rumah dan anak. Berbeda dengan zaman sekarang, Ayah dan Ibu sama sama mencari nafkah. Dan Anak diasuh oleh Nenek atau Babysitter. Salah kah?
Tidak juga. Tuntutan kebutuhan membuat para orangtua muda bekerja lebih keras dan lebih giat. Tapi apakah benar benar tercukupi? Ya, bisa jadi.
Terlepas kedua orangtua menjadi sibuk. Orangtua tetap tak boleh melepaskan peran sebagai Ayah dan Ibu. Karena umur anak 0-5 tahun membutuhkan sosok Ayah dalam pembentukan mental dan karakter.
Dengan tujuan, anak melatih dirinya belajar leadership atau kepemimpinan. Karena setelah umur 6-10 tahun akan belajar bagaimana berkomunikasi dengan lingkungan, yang lebih dekat dengan sosok Ibu. Di umur ini, Anak belajar bagaimana berinteraksi dengan orang lain, teman, bahkan dengan guru.
Ini yang terjadi dalam hidupku. Orangtua ku mendidik ku dengan demikian. Aku Belajar Leadership dari Ayahku dan Belajar Komunikasi dari Ibuku. Aku mengerti setelah banyak baca buku dan aku bersyukur telah dididik oleh kedua orangtuaku.
Satu hal yang akan membedakan antara pendidikan keluarga dengan formal adalah sikap (attitude) dan nilai nilai. Itulah mengapa pentingnya peran/kehadiran Ayah dan Ibu.
“Ayah mengajarkan Leadership, Ibu mengajarkan Communication”
#2. Mengenali Potensi Anak Sejak Dini
Banyak yang salah kaprah dalam memilih tools (alat) untuk mengetahui bakat atau potensi anak. Namun itu bukan masalah, yang menjadi masalah adalah orangtua memaksakan kehendak agar anak mau mengikuti keinginan orangtua.
Realitanya generasi Z (lahir 1996-2010) lebih suka memilih pilihannya sendiri, walau itu penuh risiko. Peran orangtua di sini memberikan pemahaman dan arahan untuk membantu mencapai apa yang diinginkan anak. Karena sekarang sudah berbeda zaman dan generasi.
Padahal idealnya, orangtua mesti mengarahkan potensi anak, bukan memaksakan kehendak. Aku ini adalah produk yang dididik dari orangtua yang memberikan kepercayaan kepada anaknya. Kalau anaknya mampu memilih pilihannya sendiri.
Aku memang tak dikenalkan tes bakat. Yang sekarang marak diperbincangkan oleh orangtua masa kini. Karena sudah beda era. Sekarang ada tes sidik jari dan itu bisa dilakukan kepada umur anak 5 tahun. Kalau tes psikologi yang biasanya mengisi soal, ini tidak.
Yang ku maksud adalah ketika anak diketahui potensinya sejak awal. Orangtua semestinya tak memaksakan keinginan untuk anak menjadi apa.
Menurut hematku dari pengalaman dan mengobrol dengan beberapa teman. Di antara lima, tiga di antaranya, orangtuanya menginginkan mereka jadi PNS. Tentu ini gak relevan, walau bisa diupayakan.
Karena yang paling mengenal diri anak, adalah anak itu sendiri. Orangtua membantu menerjemahkan ke tindakan dari apa yang diinginkan oleh anak.
Dengan mengetahui potensi anak sejak dini, menjadikan akan bisa lebih fokus mengembangkan minat dan keahlian. Sehingga ketika sudah besar mampu mengandalkan keahliannya untuk berkarier dan berkarya.
#3. Mendidik dengan Pengalaman
Ini ku dapatkan ketika bertemu seorang penulis sekaligus Pemerhati Peradaban Karakter di Indonesia, Mas Erbe Sentanu alias Mas Nunu. Dia bercerita kalau mengajari anaknya, Prema dengan pengalaman.
Di sela diskusi, aku teringat dengan Ayah saat aku masih SD, aku diajak untuk ikut pergi bersama Ayah dalam studytour. Karena Ayahku seorang guru yang setiap tahunnya mendampingi murid-muridnya studytour ke luar kota.
Aku menyimak apa yang dikatakan oleh Mas Nunu. Dan aku mendapatkan satu insight kalau mengajari anak dengan pengalaman akan jauh lebih tertanam dalam benak anak. Ada yang namanya Myelin atau Muscle Memory yang berperan menyimpan segala pengalaman ke tubuh kita.
Sekarang aku tau kenapa Ayahku mengajakku keluar atau bahkan ke sekolahnya. Ya, ia ingin aku belajar dari pengalaman. Memberikan perbendaharaan rasa melalui apa yang ku lakukan dan rasakan.
#4. Hati-hati Labeling Pada Anak
“dasar anak nakal!” sering kan Anda mendengar itu atau bahkan Anda sendiri yang mengatakan itu? Ya, itulah labeling. Memberikan label pada anak cukup membahayakan terhadap perkembangan karakter.
Ini berkaitan dengan mindset orangtua, karena ketika orangtua yang memberikan label “nakal”. Orangtua akan memperlakukan sebagaimana anak nakal diperlakukan.
Sang anak lama kelamaan akan merasa kalau dirinya adalah anak nakal. Padahal anak tak mengetahui apa yang dimaksud “anak nakal”. Karena anak tak terlalu banyak melibatkan perasaan dibanding pikiran.
Anak akan memproses dan berperilaku seperti apa yang sudah diberikan label dari orangtuanya. Padahal anak berperilaku dari apa yang ia rasakan yakni “penasaran”.
Kebanyakan anak penasaran lalu ingin melakukannya. Terkadang orangtua perlu mengawasi ini ketika anak ingin melakukan hal hal yang bisa membahayakan dirinya sendiri.
Jelas orangtua sebaiknya memahami latar belakang apa yang dilakukan oleh anak. Agar tak mudah memberikan label negatif. Dan akan jauh lebih baik bila memberikan label positif.
Seperti anak mendapatkan nilai yang belum bagus tetap berikan label yang baik. “Kamu udah hebat, ayo tingkatkan terus. Ibu sayang kamu”. itu akan jauh lebih efektif.
#5. Saatnya Bertanya Kritis
Saat anak sudah besar, katakanlah umur 10-14 tahun dimana di umur tersebut anak sekolah di kelas 5 SD s.d. kelas 3 SMP. Otak Neokorteksnya (otak berpikir) sudah mulai bekerja. Alias sudah bisa berpikir.
Umur ini rentan sekali untuk memperbanyak pengalaman dengan memperbanyak mencoba. Seperti mencoba membuka situs porno. Ada pun bila ketahuan oleh orangtua, ada baiknya jangan judging (menilai) karena itu akan membuat anak merasa bersalah, takut, bahkan berbohong.
Tapi ajaklah untuk berpikir kritis. Misalnya dengan bertanya “Ka, apa sih yang kamu cari dari situs itu?”, “terus apa aja sih manfaatnya buat kakak?”.
Biarkan anak berpikir dan menjawab segala yang ia bisa katakan. Jangan dicela. Tapi gunakan komunikasi yang hangat. Misalnya ajak ngobrol sembari memberikan Sex Education.
Hal ini bisa menjadi efektif karena kita menyentuh sisi kritis pada anak serta diiringi rasa empati. Dengan begitu anak bisa lebih kritis dengan apa ia lakukannya.
Dan dia akan mengacu kepada apa yang pernah diajarkan oleh Ayahnya. “apa manfaat yang aku lakukan ketika membuka situs porno?”.
#6. Mengajari Kejujuran Sejak Dini
Kenapa anak suka berbohong karena anak takut dimarahi, takut dibentak, dan segala takut yang dirasakan olehnya.
Aku menyadari saat berbohong kepada ibuku. Karena aku takut dimarahi. Padahal ketika anak sudah mau mengakui kesalahannya itu bagus dan tinggal diberikan pemahaman saja atas kesalahan yang ia lakukan.
Aku sendiri mendapatkan kesadaran untuk selalu jujur saat SMA. Aku lupa kenapa aku ingin selalu jujur. Yang jelas aku berprinsip “kalau tak mau bohong, ya jangan lakukan”.
Ajarkan anak untuk mengakui setiap apa ia lakukan atau hal yang disembunyikannya. Jangan dimarahi, karena anak sangat takut bila dimarahi.
Tapi rangkul dan berikan apresiasi. Bukan mengapresiasi perbuatan salahnya, namun karena sudah mengakui kesalahannya. Karena mengapresiasi membantu meningkatkan kepercayaan diri pada anak.
Kejujuran itu lahir karena adanya transparansi. Terbuka saja kepada anak. Kalau memang tak ada uang, jangan iming-imingi untuk membelikan sesuatu. Saat sudah saling terbuka, timbullah rasa saling percaya.
Kenapa anak SMA terkadang masih suka berbohong? Padahal izin kepada orangtuanya mengerjakan tugas tapi realitanya main ke Mall? Karena orangtua tak memercayai anak.
Dalam komunikasi penting sekali membangun kepercayaan dan keterbukaan. Dengan begini anak dan orangtua menjadi hangat. Bukan menyembunyikan sesuatu.
Padahal bila orangtua memercayai anak ketika anak terbuka kepada orangtua. Disitulah saatnya orangtua memberikan kepercayaan.
Bisa jadi ada suatu kejadian ketika anak mengakui kesalahan kepada orangtuanya. Bukannya permohonan maaf yang didapat, malah peluapan rasa jengkel yang didapat.
Mungkin orangtua belum paham antara tujuan dengan cara. Tujuannya mungkin benar, agar anak tak mengulangi kesalahan lagi, tapi dengan cara memarahinya adalah kurang tepat.
#7. Tidak Emosional Saat Anak Bertindak tak sesuai Harapan
Kebanyakan dari orangtua terlalu emosional saat anaknya tak melakukan sesuai harapan. Aku ingat ada seorang ibu yang malah memarahi anak di tempat umum hanya karena hal sepele.
Padahal anak tak tahu menahu apa yang dilakukannya benar atau salah. Apalagi umur 0-5 tahun itu yang lebih dominan adalah perasaan. Anak belum mampu berpikir.
Disinilah pentingnya untuk bersabar. Lalu apa sih definisi sabar itu? Sabar adalah memusatkan perhatian dan tubuh dalam satu waktu. Karena bisa jadi pikirannya kemana, tapi sang anak bersamanya.
Bisa jadi karena tak memusatkan perhatian kalau sebenernya anak tersebut belum memahami apa keinginan dari orangtua-nya. Tapi orangtua malah terburu buru ingin segera anaknya mengerti harapannya.
Sadarilah, kalau anak belum mampu berpikir. Berbeda dengan anak sudah besar yang bisa diajak berpikir.
#8. Latih Decision Making dengan Memberikan Kebebasan
Ini yang paling aku suka, Ayahku mengajari Decision Making dengan memberikan kebebasan. Walaupun beliau memberikan saran, aku coba cerna lagi. Ada saran yang ku pakai, ada pula pilihanku yang didukung oleh Ayahku.
Mulailah ajarkan anak untuk memilih dan mengambil keputusan agar sudah besar nanti bisa lebih mandiri dalam mengambil keputusan.
Saat ada keinginan Ayah denganku berbeda. Kami biasanya berdiskusi. Mungkin anak balita atau seumuran anak SD belum bisa diajak diskusi. Tapi bisa diberikan kebebasan dalam memilih.
Kesimpulan:
Mendidik anak di era digital tidaklah mudah, namun yang paling penting tetap memainkan peran sebagai orangtua. Anak adalah penerus generasi. Bukan saja keluarga, tapi bangsa. Jadikan Anak sebagai #SahabatKeluarga.
Ketika anak punya banyak manfaat, siapa yang diuntungkan? Ya, tentunya keluarga. Sikap (attitude) dan nilai nilai itu sifatnya fundamental. Yang paling penting bisa disesuaikan dengan zaman.
Apa yang ku sampaikan adalah penting dalam menjalani hidup di era yang serba digital ini. []
#SahabatKeluarga
Referensi:
Situs
Untuk Anak, Jangan Pelit Memuji!
Pentingnya Membangun Komunikasi Efektif Orangtua-Sekolah
Buku
The Secret of Mindset, Adi W. Gunawan.
Pemulihan Jiwa, Dedy Susanto.
Generasi Z, David Stillman dan Jonah Stillman.
Self-Driving, Rhenald Kasali.
The 7 Laws of Happiness, Arvan Pradiansyah.
Images: Unsplash.com