“Jika penting, pasti diperjuangkan. Jika tidak penting, pasti tidak diperjuangkan.” ~ Prasetya M. Brata
Menjalani lika-liku percintaan bagiku bukanlah hal baru, di usia 27 ini, banyak melewati hal yang mungkin nggak didapetin di buku.
Menurutku pengalaman punya hubungan spesial dengan seorang perempuan—iya, masa cowok, ada-ada aja. wkwk. Nggak bisa didapetin di buku mana pun.
Ah, aku rindu sekali curhat tentang persoalan percintaanku, di blog ini.
Terakhir aku menulis untuk salah seorang yang ngajak nikah di tahun 2019, karena secara mental dan finansial aku belum siap, ya, jadi skip. Hehehe.
Ya, menurutku selama belum menikah, semua hubungan percintaaan, ya, gagal.
Karena tujuan dari pacaran atau punya hubungan spesial, ya, keseriusan untuk melanjutkan ke pernikahan.
Seperti kata Pidi Baiq, “tujuan pacaran adalah untuk putus. Bisa karena menikah, bisa karena berpisah.”
Awalnya aku males mendengar kata-kata yang membuatku tak lagi bersama seseorang.
Tapi sekarang, aku jadi lebih mudah ikhlas, karena memang tujuannya adalah memiliki keluarga yang harmonis, damai, dan penuh support. Hehehe.
Apa tujuanmu memiliki hubungan spesial?
Jangan Percaya, Sampai Ucapannya Selaras dengan Tindakannya
Jadi aku pernah menyatakan serius, dan siap untuk menikahi seseorang, meski secara perasaan biasa aja, tapi karena disatukan value, sama-sama suka belajar.
Meski belum pernah ketemu, tapi kami saling mengenal sejak lama, lebih dari 6 tahun. Bahkan dia pernah mengalami konflik bersamaku.
Bagiku, ketika seseorang udah kena marah dariku, artinya cukup dekat denganku. wkwkwk.
Karena aku sebisa mungkin kontrol emosi, tapi kalau udah menyebalkan dan memang cukup dekat, ya, terkadang aku bisa marah.
Dan memang marahnya beralasan, bukan yang nggak jelas. Hehehe.
Aku sudah menyatakan untuk siap menikah dengannya apa pun konsekuensinya,
…dan dua bulan kemudian, aku putuskan untuk tidak melanjutkan niat itu.
Karena aku merasa sulit untuk menjaga perasaan hanya untuknya,
…sedangkan aku membutuhkan feedback selayaknya pria membutuhkan dukungan dari wanita yang dicintainya—aku mulai memiliki perasaan setelah bertemu dengannya.
Tapi, ternyata dia juga tak seserius itu, hanya mengatakan akan membalas suratku, katanya sudah menulis, tapi sampe 3x ngomong tak pernah aku terima. Hahaha.
Artinya aku tak sepenting itu di kehidupannya, aku udah effort, ya, bukan pamrih. Tapi, ya, feedback itu memberikan referensi untuk mengambil keputusan.
Rasanya kurang etis, ketika aku ingin menikah dengannya, tapi segala bentuk perhatian yang aku butuhkan malah didapatkan dari orang lain.
Daripada aku melanggar integritasku, lebih baik aku memilih seseorang yang memberikan support kepadaku.
Mungkin karena aku udah mencintai, kadang sikap yang kurang menyenangkan, jadi sebuah pemakluman.
Saranku buat kamu, entah kamu cowok atau cewek yang baca ini, benar kata Coach Lex, “semua yang udah dilakukan nggak akan berdampak kalau seseorang nggak berintegritas—Coach Lex nyebutnya nggak konsisten, alias tindakannya nggak relevan dengan ucapannya.”
Bukan Nggak Mau Bertanggungjawab
Aku jadi paham kenapa mereka—pria—sering jadi bahan ghibah di kalangan wanita karena nggak bisa menyatakan keseriusannya.
Minimal tau arah hubungannya mau dibawa kemana.
Karena terkadang ketika wanita bertanya seperti itu, ego pria merasa terancam, “oh ngajak nikah, nih, kalau belum siap, berarti gue mau ditinggalin, atau udahan aja.”
Ya, nggak tau ya, di benak pria lain seperti apa, yang jelas aku pernah merasa demikian.
Jadi buat para ladies, kalau memang menurutmu pasanganmu saat ini cukup berintegritas, ya, pertahankan.
Kalau nggak, segera sadar, jangan buang effortmu.
Ya, meskipun nggak ada yang sia-sia, terkadang kalau kitanya tulus, akan dihadirkan dengan yang tulus juga, dan itu tak terduga. Hehehe.
Ya, effortnya ke siapa, yang bales effortnya siapa. Dan memang begitu hukum alam.
“Sungguh plot twist yang tak terduga”, kalau kata netizen.
Cuman daripada nanti sakit hati, mending menarik diri sebelum itu terjadi.
Nikah Dulu atau Mapan Dulu?
Dewasa dulu.
Dewasa di sini adalah kemampuan bersikap atau merespon dengan bijak, juga bertanggungjawab atas dirinya sendiri.
Mulai dari mampu mengendalikan emosi, bertanggungjawab atas diri sendiri, dan kemampuan untuk menghidupi dirinya sendiri.
Nikah dulu kalau nggak ada kemampuan untuk menghidupi diri sendiri, nggak terlalu bertanggungjawab atas diri sendiri, hingga masih sulit mengendalikan emosi.
Ya, ini juga salah satu sebab kenapa tingkat perceraian tinggi, ya, nggak perlu data untuk meyakinkan kamu, lihat saja ada nggak masih usia 20an tapi udah cerai. Hehehe.
Kalau mapan dulu juga bisa, tapi, kita sebagai manusia memiliki kebutuhan saling mencintai dan butuh untuk kenyamanan,
…aku pernah mengalami kesepian pasca putus dengan seseorang, yang sebenarnya cukup serius hubungannya.
Lalu, aku menyadari, kesepian ini dampaknya luar biasa kurang bagus untuk kesehatan mental.
Bahkan Nir Eryal dalam Indistractable, “akar dari semua distraksi adalah rasa nggak nyaman—salah satunya kesepian.”
Ya, ada sesuatu yang kosong dalam diri kita.
Kembalinya aku menulis ini, sebenarnya caraku mengatasi kejenuhan, kebosanan, dan kebuntuan, karena selama ini aku menulis untuk bisnis aja. Hahaha.
Aku kangen banget bisa mencurahkan lepas seperti ini, meski aku tau konsekuensinya. Lebih suka curhat dibanding bertindak konyol di socmed. Wkwkwk.
Aku udah nulis untuk postingan berikutnya, dengan judul, “Jangan kehilangan antusias“
Tinggalkan komentar, jika kamu ingin segera membacanya atau merasa terwakili dengan adanya tulisan ini.
Sampai jumpa di tulisan berikutnya.
with Love,
Kadika
Alhamdulillah selesai juga membacanya.
Bagus sih Kk, tulisannya tidak terlalu panjang tetapi ceritanya serasa 9 tahunan lamanya Kkk berbagi pengalaman..
Rajin² terus dituliskan pengalamannya y Kk.
Semangat kak, semoga dipertemukan dan disatukan di waktu terbaik menurut Allah
semangat kak Dika, beli buah aja milih apalagi pasangan wkwkwk.