Sebenarnya nggak ada self-healing yang menyenangkan selain beli buku.
Entah kenapa rasanya menyenangkan sekali kalau sudah beli buku baru.
Aku masih ingat ketika zaman kuliah cerita mas Ippho, “saya lebih milih nahan lapar, dibanding rela nahan beli buku.”
Bahkan zaman masih SMA, tahun dimana baru suka baca, aku menyisihkan uang jajan harian, lalu di hari sabtunya aku pergi dengan Habib ke Gramedia buat beli buku baru.
Suatu hari aku belum makan siang, tapi masih kuat jika sampai rumah. Karena arah pulang dari kampus ke rumah se-arah, maka aku putuskan untuk mampir.
Ketika ketemu buku bagus, aku bergumam, “bagaimana kalau besok nggak ada ongkos?”, tapi dengan segala pertimbangan—yang cepat, aku tetap putuskan untuk beli buku tersebut.
Kenapa?
Karena aku nggak ingin melewatkan momen yang mana saat itu aku butuhkan.
Mungkin aku bisa melewatkan makan siang di luar, lalu menggantikany makan siang di rumah, meski telat 1 – 2 jam, dan masih bisa ditoleransi.
Daripada aku harus menunda informasi yang masuk kepadaku. Mestinya aku sudah paham, tapi karena aku tunda, aku jadi terlambat untuk memahaminya.
Alhasil perubahan yang terjadi juga tertunda.
Seperti kata pepatah arab, “otak tidak seperti perut yang ngasih tahu kalau lagi kosong.”
So, beruntunglah yang membiasakan diri untuk terus upgrade diri melalui buku.